Banyak Perda APBD Batal, .... Kalau Peraturan Menteri Dianggap Sebagai Peraturan Perundang-undangan

Selasa, 01 Desember 2009

Materi ini semula akan saya sampaikan pada acara Pelatihan Legal Drafting Program P2TPD Tanggal 24 Nopember 2009 di Purwakarta, karena kebetulan saya diundang untuk menyampaikan materi pada acara tersebut, tetapi karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, akhirnya materi ini urung saya sampaikan, namun mengingat urgensi dari materi ini maka saya pikir perlu untuk dikemukakan.

Sebetulnya topik yang dipercayakan kepada saya adalah tentang Berbagi Pengalaman Dalam Penyusunan Legal Drafting Perda APBD, padahal pada kenyataannya sepanjang pengetahuan dan pengalaman selama ini, minim sekali peran Legal Drafter baik di pusat maupun di daerah dalam proses perumusan UU APBN maupun Perda APBD.
Tetapi tak apalah karena dengan sempitnya bahasan maka saya akan lebih fokus pada salah satu materi yang selalu dijadikan acuan dalam penyusunan Perda APBD setiap tahun dan telah seringkali disampaikan oleh banyak kalangan pakar peraturan perundang-undangan, yaitu kedudukan Peraturan Menteri, khusus dalam bahasan ini yaitu tentang Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD.

Menyoroti penetapan APBD Tahun Anggaran 2010 telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010 sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang salah satunya memuat Pokok-Pokok Kebijakan Dalam Penyusunan APBD, yang harus dituangkan dalam Peraturan Daerah, yaitu :



1. Pendapatan Daerah
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
b. Dana Perimbangan
c. Lain-lain pendapatan Daerah Yang Sah

2. Belanja Daerah
a. Belanja Tidak Langsung, meliputi:
1) Belanja Pegawai
2) Penyediaan anggaran untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi PNSD
3) Penganggaran penghasilan dan penerimaan lain Pimpinan dan Anggota DPRD
4) Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
5) Belanja Bunga
6) Belanja Subsidi
7) Belanja Hibah
8) Belanja Bagi Hasil
9) Belanja Bantuan Keuangan
10) Belanja Tidak Terduga

b. Belanja Langsung.
1) Belanja Pegawai
2) Belanja Barang dan Jasa
3) Belanja Modal

3. Pembiayaan Daerah
a. Penerimaan Pembiayaan
b. Pengeluaran Pembiayaan
c. Sisa Lebih Pembiayaan Tahun Berjalan

Tetapi, apabila kita cermati, dengan mengambil sampel dari salah satu Perda APBD, bahwa ternyata dalam prakteknya tidak sedikit komponen-komponen yang diamantkan tersebut tidak muncul dan tertuang secara eksplisit, artinya apabila hal tersebut terjadi, bagi pihak yang beranggapan bahwa Peraturan Menteri adalah peraturan perundang-undangan juga, maka dengan merujuk pada Pasal 136 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Perda tersebut batal demi hukum, karena Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Konsekuensi dilanggarnya norma larangan tersebut dengan sendirinya akan mengakibatkan produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan batal demi hukum pula.

Selesai ?, Belum, karena dari sisi Legal Drafting, akan muncul pula pertanyaan, Apakah Peraturan Menteri Dalam Negeri (secara khusus dalam kasus ini) dapat dimasukkan ke dalam konsideran ”Mengingat” sebuah Peraturan Daerah ?.

Ayo kita gali, di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan definisi Peraturan Perundang undangan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menetapkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah

Pasal 7 ayat (4) UU 10/2004 menyatakan jenis peraturan perundang undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan secara tegas bahwa Peraturan Menteri termasuk jenis peraturan perundang-undangan. Banyak pihak yang keukeuh berpegang pada penjelasan ini, padahal apabila kita simak Lampiran E angka 150 UU tersebut di sana dinyatakan dengan jelas bahwa Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum, artinya tidak ada alasan untuk mencantumkan Peraturan Menteri dalam konsideran "Mengingat". Betul ? Kuat mana sebuah Penjelasan dengan Lampiran, tentu Lampiran yang lebih kuat karena noto feiten-nya menyatakan bahwa sebuah Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari batang tubuh.

Pasal 7 ayat (5) menyatakan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jadi sebetulnya dalam hierarki tersebut dimana posisi "Peraturan Menteri" apakah disamakan dengan Peraturan Pemerintah sebagai alas amanatnya / delegerren ? ataukah diletakkan di bawah Peraturan Presiden, karena Menteri adalah Pembantu Presiden yang posisinya di bawah Presiden. Membingungkan bukan ? Dimana kepastian hukumnya ? Di mana aspek legal formalnya ?.

Kemudian di dalam Lampiran B4 angka 27 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Perlu untuk diingat kembali bahwa dasar hukum dari sisi legal drafting adalah apa-apa yang termuat dalam konsideran "Mengingat". Seorang Legal Drafter diposisikan pada mindset yang legalistik dan formal, tidak pada posisi sebagai interpreteur dari aspek teknis.
Artinya untuk mengisi konsideran”Mengingat” tersebut, seorang Legal Drafter akan berpegang pada Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Apakah salah ?

Jangan dulu tersinggung, meskipun begitu, dan walaupun tidak secara eksplisit muncul dalam konsideran “Mengingat” , secara substantif (artinya tidak formal letterlijk) dalam praktek, Peraturan Menteri tetap dipedomani tetapi tidak secara kaku / mutlak diikuti melainkan dijadikan sebagai rambu saja.

Jadi, bagi pihak-pihak yang beranggapan bahwa Peraturan Menteri adalah juga peraturan perundang-undangan yang posisinya secara hierarki di atas Perda dengan melanggar Pasal 7 ayat (1) di atas, mohon maaf, kami punya pikiran yang lebih legalistik sebagaimana dibutuhkan dari seorang Legal Drafter.

Solusi untuk menengahi masalah ini adalah merubah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mudah bukan ? Daripada berandai-andai dan tidak legalistik mindset (nanti musuhan lagi, gawat).

Pembahasan ini baru dari sisi legal drafting saja, kita belum membahas dari sisi substansi. Pada tulisan saya selanjutnya akan kita uraikan beberapa Peraturan Menteri yang dari sisi substansinya sangat membingungkan, yang akhirnya dengan berat hati tidak kami ikuti, bukan karena kami tidak taat pada Pemerintah, tapi masalah di daerah lebih kompleks dibanding masalah di departemen, terutama apabila dikaitkan dengan banyaknya peraturan sektoral yang satu sama lain "bicaranya berbeda".

0 komentar:

Posting Komentar