Penghapusan Retribusi Nelayan (?)

Sabtu, 12 Desember 2009


Beberapa saat lalu, dalam suatu kesempatan di Makassar dan Medan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, menyatakan akan menghapuskan retribusi nelayan di daerah dan akan menggantinya dengan penambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi beberapa daerah penghasil produksi perikanan. Kami di daerah tentu sangat setuju dengan komitmen ini dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang pro poor yang salah satunya dengan cara memotong rantai retribusi dalam rangka mensejahterakan nelayan dan meningkatkan pendapatannya.
Dari pernyataan ini yang menjadi ganjalan dalam pikiran saya terutama dikaitkan dengan aspek yuridis adalah apa yang dimaksud dengan retribusi nelayan itu dan apakah dasar yuridisnya. Sepanjang pengetahuan dan praktek selama ini di lapangan, secara eksplisit tidak ada yang dinamakan retribusi nelayan. Jadi jenis retribusi yang mana yang akan dihapuskan.
Baca selengkapnya

Perijinan dalam Kacamata Teori Ilmu Hukum

Rabu, 02 Desember 2009

Di era Otonomi Daerah sekarang ketika slogan good government dan good governance begitu populer serta merupakan bagian dari agenda reformasi birokrasi, kata perijinan / perizinan? (praktek menamakannya ijin, hukum menamakannya izin - kita sepakati ijin sajah), kembali menjadi trend, walaupun bukan euforia semata tentunya. Trend ini kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Pusat  dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang salah satu inti pokoknya adalah bagaimana menciptakan prosedur pelayanan kepada masyarakat (termasuk ijin di dalamnya) secara transparan, akuntabel, cepat, murah, dan mudah.
Tetapi apakah sesungguhnya ijin itu dari sisi hukum, hal ini perlu disampaikan mengingat kecenderungan pemberian ijin yang terjadi adalah mengarah pada upaya optimalisasi PAD, sehingga semakin banyak ijin yang dikeluarkan Pemerintah, maka makin banyak pula pendapatan yang dapat dijaring. Padahal tidak sesederhana itu karena sesungguhnya ijin adalah salah satu instrumen hukum dari Pemertintah. Mengapa dikatakan instrumen hukum, karena ijin itu sendiri adalah hukum. (masa hukum jadi penyumbang PAD !). Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyumbang PAD menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah reribusi dan salah satu jenis / kategori retribusi adalah retribusi perijinan tertentu.

Tidak ada definisi yang pasti dan seragam mengenai pengertian ijin dari sisi teori ilmu hukum, jangankan orang semacam saya, guru saya sendiri Prof. Dr. Syahran Basach (Alm) kesulitan dalam mendefiniskan pengertian dari ijin ini, tetapi nanti kita akan rangkum menjadi satu kalimat berdasarkan pemaparan dari beberapa orang pakar Hukum Administrasi Negara. Tetapi sebelumnya saya akan mengemukakan beberapa istilah lain yang sedikit banyak memiliki kesejajaran dengan ijin, yaitu dispensasi, konsesi, dan lisensi.
Dispensasi adalah keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan peraturan yang menolak perbuatan tersebut dengan tujuan untuk menembus rintangan yang sebetulnya secara normal tidak diijinkan, artinya dispensasi adalah menyisihkan pelarangan dalam hal khusus. Lisensi adalah suatu ijin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu pesrusahaan. Lisensi digunakan untuk menyatakan suatu ijin yang memperkenankan seseorang untuk menjalankan suatu perusahaan dengan ijin khusus atau istimewa. Sementara itu, Konsesi merupakan suatu ijin yang berhubungan dengan pekerjaan besar di mana kepentingan umum terlibat dengan erat, sehingga sesungguhnya pekerjaan itu merupakan tugas dari pemerintah, bentuknya bermacam-macam dapat berupa kontraktual maupun pemberian status tertentu.
Baca selengkapnya

Kewenangan Bidang Pertanahan Harus Kembali pada Khitoh-nya



Masalah tanah adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan karena sifatnya yang langka dan terbatas serta merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Memang tidak mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang dirasakan adil oleh semua pihak. Suatu kebijakan yang memberikan kelonggaran yang lebih besar kepada sebagian kecil masyarakat dapat dibenarkan apabila diimbangi dengan kebijakan serupa yang ditujukan kepada kelompok lain yang lebih besar. Dengan demikian, selalu ada kebijakan yang berfungsi untuk mengoreksi atau memuilihkan keseimbangan tersebut.
Dalam merancang kebijakan di bidang pertanahan, tolok ukur yang lebih tepat adalah memberikan keadilan berdasarkan kebutuhan dan bukan berdasarkan kemampuan karena dalam peta penguasaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia perhatian harus lebih banyak diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan yang diwakili oleh sebagian terbesar lapisan masyarakat. Harapan tersebut dihadapkan pada kebutuhan untuk melengkapi peraturan pelaksanaan UUPA, kebijakan pertanahan baik dalam hal penguasaan dan penatagunaan, hak atas tanah, pengukuran, dan pendaftaran tanah sebaiknya dirancang berdasarkan pola dengan urutan prioritas yang ditentukan berdasarkan pemenuhan kebutuhan masyarakat, yang dimulai dengan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan paling mendasar, tanpa mengabaikan perlunya diciptakan kebijakan yang menunjang perkembangan kebutuhan ekonomi yang dinamis serta investasi oriented.
Permasalahan  kewenangan bidang pertanahan antara Pemerintah Pusat (BPN), Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten / Kota sebagai konsekuensi diundangkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Presiden tentang Badan Pertanahan Nasional diatasi dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota.

Baca selengkapnya

Menyambut Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 dengan Dilematis

Selasa, 01 Desember 2009

Pada tanggal 29 Oktober 2009 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang mencabut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, mungkin ini adalah salah satu jawaban dari terombang-ambingnya program Keluarga Berencana di daerah yang selama ini seolah "ternaktirikan" menjadi bagian kecil dari Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah. Beragam daerah menempatkan Keluarga Berencana dengan bermacam variasi SKPD yang tentunya disesuaikan dengan tingkat kepentingan masing-masing, sehingga program tersebut dapat timbul menjadi dominan pada satu daerah, tetapi sebaliknya dapat mati perlahan dan tak terdengar bunyinya pada daerah lain. Keberadaan perangkat vertikal sebagai cantolan bagi Program Keluarga Berencana seolah terhenti di tingkat provinsi akan tetapi tidak berakar pada tingkat Kabupaten / Kota.

Tetapi pada sisi lain, secara yuridis Undang-undang baru ini juga menyisakan persoalan terkait dengan bentuk SKPD apa yang harus diadakan di daerah. Dalam Pasal 54 disebutkan bahwa "Dalam rangka pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana di daerah, pemerintah daerah membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah yang selanjutnya disingkat BKKBD di tingkat provinsi dan kabupaten / kota".
Tak ada masalah dengan Keluarga Berencana-nya, tetapi perlu kita ingat pula bahwa regulasi kependudukan pun telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah dijabarkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007, dimana dalam Pasal 27 diamanatkan untuk membentuk Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, tentu ini akan menimbulkan benturan yuridis apabila kita akomodir keduanya. Agak sulit ke depan untuk membedakan mana kependudukan yang berbasis KB dan mana kependudukan yang berbasis pencatatan sipil, dua-duanya kependudukan.
Baca selengkapnya